MEMANDIKAN JENAZAH
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah
fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin,
maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang muhrim (orang yang
mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun 'alaih].
2.
Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang
diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat
karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui
hukum-hukum memandikan mayit. Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu
'anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma' binti
Umais, kemudian dia (Asma' binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh
Malik dalam Al Muwatha', Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah. Setelah
orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan
ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari
ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini,
maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus
jenazah.
3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu.
[HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].
4.
Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah
umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan. Ibnul Mundzir
berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa
seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki." Karena tidak ada
aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al
Mulakhash Al Fiqh (1/207)].
5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah
engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya,
dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir
kepada Allah.
[At Taubah:84].
Yang dimaksud dengan ayat
tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan
tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir
ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk melempar
mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam
satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di
dalam kitab Al Maghazi].
6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah
dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak
disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang
membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah
diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh
seorangpun. Kemudian dilakukan istinja' terhadap mayit dan dibersihkan
kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu' seperti wudhu' ketika akan
shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke
dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air,
lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya,
kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian
kanan.
Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun
bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya.
Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita
yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: "Ambillah kapur pada kali
yang terakhir, atau sesuatu dari kapur." Kemudian dikeringkan dan
diletakkan di atas kain kafan. [70 Su'alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh
Muhammad Al 'Utsaimin, hlm. 6].
7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.
8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang
wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka
tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan
disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang
membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang
terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut
dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya,
mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di
belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan,
anggota wudhu'nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
9.
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan
tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang
wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau
sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang
baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau
yang lainnya.
10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu'.
[HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].
11.
Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh
dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan
pakaian yang menempel padanya.
Dalam hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :
أَنَّ
النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ
أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para
syuhada' Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan
tidak dishalatkan.
[HR Al Bukhari].
Hukum ini khusus bagi
syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang
mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap
dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati
karena wabah tha'un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau
terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy
Syarhul Mumti' (5/364).
12. Apabila janin yang mati keguguran dan
telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan.
Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu':
وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang
anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia
dishalatkan dan dido'akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan
rahmat.
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Karena setelah empat
bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang
penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah
bin Mas'ud.
E. MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari
kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya.
[HR Muslim].
Ulama
berkata: "Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih,
tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud
bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah." [Ahkamul Janaiz, 58].
2.
Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan
daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:
....وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
… Kafanilah dia dengan dua bajunya.
[Muttafaqun 'alaih]
Karena
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani
dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush'ab bin
Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n
dengan pakaiannya sendiri.
3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali.
[HR Ahmad].
4.
Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka
beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan
orang yang paling banyak hafalan Al Qur'annya, sebagaimana kisah para
syuhada Uhud.
5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata: "Dalam hal ini telah ada hadits marfu' (kafan
seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya
ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian
ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu
tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain." Lihat Asy
Syarhul Mumti' (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.
F. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
1.
Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman
perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyalati
jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian.
[HR Muslim].
2.Tata cara shalat jenazah.
a.
Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya
wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang
imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni.
[HR At Tirmidzi]
b.
Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta'awwudz,
tidak membaca do'a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang
kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do'a
untuk mayit. Sebaik-baik do'a adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai,
Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati,
yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa,
lelaki dan wanita kami.
[HR At Tirmidzi]
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:
اللَّهُمَّ
مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ
تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا
تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai, Allah! Orang
yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas
keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka
wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi
kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya.
[HR Abu Dawud].
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ
وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ
الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا
مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ
وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
Wahai,
Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan
maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya,
mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan
sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah
baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik
dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula.
Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab
neraka.
[HR Muslim dari 'Auf bin Malik]
Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….
(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ....)
c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
Syaikh
Ibnu Utsaimin menegaskan: "Pendapat yang benar, ialah tidak masalah
(jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/424)]
Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas'ud.
ثَلاَثُ
خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى
الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ
“(Ada) tiga
kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah n , namun kebanyakan orang
meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah
seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.
Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ
فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali.
(HR Ad Daraquthni dan Al Hakim).
Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul 'Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.
d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
Terdapat
hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau
mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu', karena hal seperti ini
tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Ibnu
Hajar berkata: "Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya
beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah." [Diriwayatkan
oleh Sa'id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].
3.Tidak
diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk
mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi
tombak, ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika
matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di
dalam hadits 'Uqbah bin 'Amir.
4. Bagi kaum wanita,
diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama'ah. Dan tidak
mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah radhiyallahu
'anha menyalatkan jenazah Sa'ad bin Abi Waqqash.
5. Apabila
terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita,
maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak
kecil, diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita
diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka,
diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.
6.Dalam
menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum
muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا
مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ
مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidaklah
seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya
mencapai seratus orang, semuanya mendo'akan untuknya, niscaya mereka
bisa memberikan syafa'at untuknya.
[HR Muslim].
مَا مِنْ
رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا
لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah
seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh
orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan
syafa'at kepada mereka untuknya.
[HR Muslim].
7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata: "Apabila dia salam dan tidak mengqadha',
tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,'Tidak mengqadha'. Dan
dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika
berdiri'." [Lihat Al Mughni (2/511)].
8. Apabila tertinggal dari
shalat jenazah secara berjama'ah, maka dia shalat sendirian selama belum
dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul
Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu
ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau
tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma'ad (1/512)].
Jadi
diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada
batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati,
orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.
9.
Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di
tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal
dunia ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita
kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang
belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati
di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut.
Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena
kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak
menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian
ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya
dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a'lam. Dan ini, juga merupakan
pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah." [Lihat Zaadul Ma'ad
(1/520)].
10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh
karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam
hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian
bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyalatkannya.
11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan
tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan
perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta
rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian.
[HR Abu Dawud].
Dan
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang
mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ,
berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Seseorang
yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya.
[HR Muslim].
Hal
ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai imam
(pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran
bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk
menyalatkannya.
12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.
13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , beliau berkata:
وَاللهِ
مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
Demi,
Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan jenazah
Suhail bin Baidha' dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid.
[HR Muslim].
Akan
tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang
disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), AsySyarhul Mumti'
(5/444)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar